Minggu, 17 Juli 2011

Don't cry for - Batista - Argentina



Kekalahan Argentina dari Uruguay di babak perempatfinal Copa America 2011 bisa dikaitkan dengan tiga nama besar ini: Lionel Messi, Carlos Tevez, dan Javier Zanetti. Siapa paling sial?

Messi, selama belum memberi piala besar apapun buat negaranya, maka segala kehebatannya di level klub boleh jadi akan terus diusik. Messi semestinya bisa menjadi ikon pula buat Argentina, seperti halnya dia besar dan mengilap bersama Barcelona.

Semua jenis piala klub sudah ia peroleh bersama klub raksasa Spanyol itu, berbagai penghargaan individu pun ia dapatkan terutama sekali karena permainan fantastisnya bersama Los Cules. Paling tinggi tentu saja predikat pemain terbaik dunia dalam dua tahun terakhir.

Dalam balutan seragam Albiceleste, penyerang kidal 25 tahun itu baru satu kali mempersembahkan gelar tertinggi, yaitu medali emas Olimpiade 2008 -- tapi itu bukan di level senior.

Ia tampil di dua Piala Dunia (2006, 2010), tapi Argentina selalu kandas di babak delapan besar. Di edisi terakhir di Afrika Selatan ia bahkan tidak mencetak gol. Begitu pula di Copa America tahun ini. Di Copa pertama yang diikuti di tahun 2007, ia membuat dua gol tapi timnya kalah di final dari musuh besarnya.

Untuk setiap "kegagalan" dan penampilan buruk Messi di skuad Tango, orang selalu bilang "Barcelona bukan Argentina". Messi kerap mengingatkan hal itu juga. Namun, praktisnya, selama Messi bermain luar biasa di level klub, maka orang Argentina akan selalu memberi beban serupa.

Tapi Messi masih punya banyak waktu dan kesempatan karena usianya masih relatif muda. Diego Maradona pun, sosok yang akan selalu menjadi pembanding buat orang Argentina, sesungguhnya cuma satu kali memberi trofi besar buat Argentina, yaitu Piala Dunia 1986, saat umurnya 25 tahun.

Cerita lain adalah soal Carlos Tevez. Soal kehebatan, juga tak ada yang menyangsikan figur berusia 27 tahun itu. Namun ia sering bermasalah dengan masalah di klubnya, terutama Manchester City, setelah dua musim ia mendapatkan banyak kebaikan bersama UNITED.

Banyak orang menganggap Tevez setengah hati bermain untuk City, karena klub tersebut baru sekadar kaya, tapi belum terlalu kompetitif di level elit. Baru di musim lalu The Citizens berhasil menembus posisi empat besar di Premiership, dan akan untuk pertama kalinya tampil di Liga Champions musim ini.

Meski demikian, kesempatan bermain lagi di Eropa tidak serta merta meredam keinginan Tevez untuk pindah. Beberapa klub kemudian diisukan siap menampungnya, mulai dari Inter Milan, Juventus, Real Madrid, dan terakhir klub lamanya, Corinthians.

Di saat Tevez sibuk dengan isu transfer, ia mendapatkan kenyataan pahit di Copa. Selain tidak mencetak gol, dan tidak selalu menjadi starter, ia malah menjadi "penyebab" kekalahan Argentina dari Uruguay.

Masuk lapangan di menit-menit akhir babak kedua, Tevez termasuk lima algojo yang dipilih Batista untuk melakoni adu penalti, setelah skor 1-1 selama 120 menit. Hasilnya, tembakan keras Tevez dapat ditebak arahnya oleh kiper Fernando Muslera, dan eksekusinya tidak membuahkan gol. Dari total 10 algojo, hanya dia yang tidak berhasil, dan Argentina pun kalah.

Cerita ironis adalah milik Javier Zanetti. Sudah membela negaranya sejak 17 tahun silam, dan masih bertahan hingga kini, yang membuatnya memegang rekor caps terbanyak dalam sejarah timnas Argentina, bek asal Inter Milan itu tidak pernah mencicipi sebuah piala bersama Albiceleste.

Il Trattore, si pemain serba bisa yang mampu bermain sebagai full back ataupun winger, di kiri maupun di kanan, sepertinya tak punya kesempatan lagi untuk menyimpan sebuah trofi internasional mengingat pada 10 Agustus nanti umurnya akan genap 38 tahun.

Jika tidak ada yang tidak mungkin dalam sepakbola, Zanetti mungkin saja masih boleh berharap untuk sekali lagi bermain di turnamen besar, dan yang terdekat adalah Piala Dunia 2014 di Brasil, dan saat itu ia mendekati usia 41 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar